Dampak Buruk Fitnah (Bag. 1): Menjauhnya Manusia dari Beribadah kepada Allah
Salah satu dampak buruk fitnah adalah membuat seorang hamba berpaling dari ibadah yang sebenarnya menjadi tujuan penciptaannya. Ia menjauh dari ketaatan yang Allah perintahkan untuk diwujudkan, dan lalai dari zikir kepada Allah Tabaraka wa Ta‘ala. Akhirnya, hidupnya, hari demi hari, habis tersibukkan oleh hal-hal yang sia-sia, perkataan yang tak berguna, dan berbagai urusan tak penting sebagai dampak dari fitnah-fitnah yang datang silih berganti.
Hatinya pun menjadi gelisah dan kacau, terseret oleh berbagai kesibukan itu. Ia tidak lagi merasakan ketenangan dan ketenteraman, bahkan tidak memperoleh dari zikir kepada Allah Tabaraka wa Ta‘ala itu berupa ketenangan yang seharusnya ia dapatkan. Akibatnya, hatinya goyah, pikirannya semrawut, dan ia terus disibukkan oleh perkara-perkara yang membuatnya lalai.
Ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang sahih,
عِبَادَةٌ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Beribadah di masa ‘Al-Harj’ itu seperti berhijrah kepadaku” (HR. ath-Thabrani dalam al-Kabir, 20: 213 dari Mi‘qal bin Yasar radhiyallahu ‘anhu dan disahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami‘ no. 3974)
Makna “Al-Harj” adalah keadaan ketika manusia berada dalam kegoncangan dan kegelisahan; saat segala urusan menjadi kacau, tidak stabil, dan fitnah serta pembunuhan tersebar di tengah masyarakat. Siapa saja yang pada masa seperti itu memilih untuk menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah Tabaraka wa Ta‘ala, maka kedudukannya seperti orang yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang hidup di tengah kekacauan, lalu fokus pada ibadah, berarti ia berada pada posisi yang selamat dari berbagai bahaya fitnah. Pada waktu seperti itu juga terdapat isyarat bahwa pilihan terbaik bagi seseorang adalah dengan memperbanyak ibadah dan menjauhi fitnah, agar ia memperoleh kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman. Ini sebagaimana yang disampaikan juga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis,
إِنَّ السَّعِيدَ لِمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ
“Sesungguhnya orang yang benar-benar bahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang ucapan itu hingga tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 423, dari al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu dan disahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 975)
Kebahagiaan itu ada pada sikap menjauhi fitnah, memperbanyak ibadah, zikir, dan ketaatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai amal saleh, zikir-zikir, dan berbagai amalan lainnya.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika bangun pada malam hari dalam keadaan cemas. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سُبْحَانَ اللَّهِ! مَاذَا أُنْزِلَ اللَّهُ مِنَ الْخَزَائِنِ!؟ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْفِتَنِ!؟ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ لِلصَّلَاةِ؟
“Mahasuci Allah! Betapa banyak perbendaharaan (kebaikan) yang Allah turunkan! Dan betapa banyak fitnah yang diturunkan! Siapa yang akan membangunkan para penghuni kamar-kamar ini (istri-istri Nabi) untuk salat?” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no.115)
Dengannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan umatnya bahwa ketika fitnah itu muncul, manusia hendaknya semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يُصَلِّينَ، رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ
“Siapa yang akan membangunkan para penghuni kamar-kamar (istri-istri Nabi) agar mereka salat? Betapa banyak wanita yang berpakaian di dunia namun telanjang di akhirat.” (HR. Bukhari no. 1126)
Dan termasuk dalil yang menunjukkan hal ini juga adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
“Bersegeralah melakukan amal-amal saleh sebelum datangnya fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita.” (HR. Muslim no. 118, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ini adalah bimbingan agar manusia segera memperbanyak amal saleh, yaitu hendaknya manusia bersegera melakukan ketaatan kepada Allah, seperti salat, zikir, doa, dan membaca Al-Qur’an.
Saat fitnah datang bertubi-tubi, manusia cenderung teralihkan dari amal dan ibadah, sehingga hanya sedikit kebaikan yang tercatat untuk mereka. Oleh karena itu, hendaknya mereka segera kembali kepada Allah Tabaraka wa Ta‘ala dengan memohon taufik, pertolongan, dan penjagaan-Nya.
Ketika fitnah terjadi pada masa tabi‘in, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah yang dikenal sebagai sosok yang menjauhi fitnah pernah berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّهُ وَاللَّهِ مَا سَلَّطَ اللَّهُ الْحَجَّاجَ عَلَيْكُمْ إِلَّا عُقُوبَةً؛ فَلَا تُعَارِضُوا عُقُوبَةَ اللَّهِ بِالسَّيْفِ، وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ و التَضَرُّعِ
“Wahai manusia! Demi Allah, Allah tidaklah menjadikan Al-Hajjaj berkuasa atas kalian kecuali sebagai hukuman. Karena itu, jangan kalian melawan hukuman Allah dengan pedang. Bersikaplah tenang, dan perbanyaklah merendahkan diri dalam doa memohon pertolongan” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 7: 164, dan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 12: 178)
Karena Allah Ta‘ala telah berfirman,
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (QS. Al‑Mu’minun: 76)
Kewajiban manusia adalah bersimpuh dan tunduk kepada Allah ‘Azza wa Jalla, merendahkan diri di hadapan-Nya, senantiasa memperbanyak zikir kepada-Nya, serta memperbaiki kondisi dirinya dan keluarganya. Ia juga harus tetap istikamah dalam menaati Rabb-nya dengan cara yang diridai oleh Allah Tabaraka wa Ta‘ala.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata,
تكونُ فِتْنَةٌ لا ينجو منها إلا دعاءٌ كدعاءِ الغريقِ
“Akan datang sebuah fitnah (ujian) yang tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang berdoa seperti doa orang yang sedang tenggelam.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah, 7: 53)
Setiap orang tentu mengetahui bagaimana kondisi seorang yang akan tenggelam lalu berdoa; yaitu orang yang telah dikejar oleh tenggelamnya (kematian), bagaimana ia akan berdoa!? Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
تَكُونُ فِتْنَةٌ لَا يُنَجِّي مِنْهَا إِلَّا دُعَاءُ الْغَرِيقِ
“Tidak ada yang dapat menyelamatkan darinya kecuali doa seperti doanya orang yang tenggelam.”
Maksudnya, di posisi seperti itu engkau akan benar-benar menghadap kepada Allah Tabaraka wa Ta‘ala dengan penuh kejujuran dan keyakinan bahwa Dia akan menyelamatkanmu, menolongmu, memberi jalan keluar bagimu, dan menjagamu.
[Bersambung]
Baca juga: Mengendalikan Syahwat di Zaman Fitnah
***
Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Kitab Atsarul Fitan, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 15-20.
Artikel asli: https://muslim.or.id/110662-dampak-buruk-fitnah-bag-1.html